Dalam beberapa tahun terakhir, bermain game di Linux bukan lagi mimpi. Berkat kemajuan teknologi seperti Proton dan Wine, serta komitmen kuat dari Valve melalui Steam Deck, yaitu perangkat genggam berbasis Linux yang sukses besar, komunitas gamer Linux tumbuh pesat. Namun, di balik euforia ini, muncul tantangan baru yang tak terduga, yaitu anti-cheat.
Sejak pertengahan 2023 hingga 2024, banyak judul game populer tiba-tiba menjadi tidak bisa dimainkan di Linux, bukan karena bug atau inkompatibilitas teknis, melainkan karena keputusan sengaja dari pengembang game. Perusahaan besar seperti Electronic Arts (EA) dan Rockstar Games mulai memperketat kebijakan anti-cheat mereka, dan dalam prosesnya, secara efektif mengunci pintu bagi pengguna Linux, termasuk para pemilik Steam Deck.
EA, misalnya, memperkenalkan sistem anti-cheat mereka sendiri untuk game seperti Battlefield, FIFA, dan bahkan Apex Legends. Sayangnya, sistem ini tidak kompatibel dengan Linux, dan yang lebih buruk lagi, secara eksplisit memblokir akses dari sistem operasi tersebut, termasuk dari Steam Deck yang berjalan di SteamOS (turunan Linux Debian). Rockstar pun tak ketinggalan, saat meluncurkan anti-cheat untuk GTA Online, mereka sama sekali tidak mempertimbangkan dukungan untuk Linux.
Alasannya? Developer sering berdalih bahwa Linux terlalu “terbuka” bagi cheater karena akses penuh ke kernel. Padahal, fakta di lapangan menunjukkan bahwa cheat tetap merajalela di OS Windows, yang notabene merupakan pasar utama game. Menariknya, solusi anti-cheat seperti Easy Anti-Cheat (EAC) dan BattlEye sebenarnya sudah mendukung Linux, tetapi tetap saja banyak developer enggan mengintegrasikannya.
Di tengah situasi ini, keberadaan Steam Deck menjadi sorotan. Dirilis oleh Valve pada awal 2022 dan kini telah memasuki generasi kedua (Steam Deck OLED, November 2023), perangkat ini membuktikan bahwa gaming berbasis Linux bukan hanya mungkin, tapi juga menyenangkan. Bahkan, menurut laporan Steam Hardware Survey, jumlah pengguna Linux, terutama melalui Steam Deck, terus meningkat signifikan.
Namun, ironisnya, justru di tengah momentum ini, banyak game multiplayer populer malah menutup akses. Hal ini bukan hanya kekecewaan bagi pengguna biasa, tapi juga strategi bisnis yang berisiko. Dengan Steam Deck terjual jutaan unit dan Valve terus berinvestasi di ekosistem Linux, mengabaikan platform ini sama saja dengan membuang peluang pasar yang nyata.
Untungnya, komunitas Linux tidak tinggal diam. Situs seperti “Are We Anti-Cheat Yet?” (https://areweanticheatyet.com) telah menjadi rujukan penting bagi gamer yang ingin tahu apakah sebuah game mendukung Linux dengan anti-cheat yang kompatibel. Di sana, lebih dari 1.000 judul game dilabeli dengan status: “✅ Kompatibel”, “⚠️ Terbatas”, atau “❌ Tidak Didukung”.
Selain itu, banyak developer indie justru menunjukkan komitmen kuat terhadap Linux. Studio seperti Supergiant Games (Hades), Klei Entertainment (Don’t Starve), dan Team17 (Overcooked) secara konsisten merilis game mereka dengan dukungan Linux penuh, baik native maupun via Proton.
Bagi yang benar-benar ingin tetap memainkan game yang memblokir Linux, solusi klasik masih berlaku, yaitu dual-boot dengan Windows. Meski tidak ideal, cara ini memberi fleksibilitas untuk menikmati semua game tanpa kehilangan kebebasan menggunakan Linux di hari biasa.
Linux bukan lagi sistem operasi pinggiran untuk para “tech enthusiast”. Dengan Steam Deck, Linux kini ada di tangan jutaan gamer kasual. Menghukum seluruh platform hanya karena kekhawatiran terhadap cheat, serta tanpa upaya serius untuk integrasi solusi yang sudah tersedia, terasa seperti pengambilan keputusan yang gegabah dan diskriminatif.
Game seharusnya menyatukan orang, bukan membagi mereka berdasarkan sistem operasi. Semoga ke depan, para developer besar mau membuka mata, bahwa Linux layak diberi kesempatan yang adil.
Sumber: