Sistem pendinginan—dari kulkas rumah tangga hingga sistem AC gedung—merupakan salah satu konsumen energi terbesar di dunia. Namun, sebagian besar teknologi pendinginan saat ini masih mengandalkan refrigeran berbasis hidrofluorokarbon (HFC), gas rumah kaca yang berpotensi merusak iklim hingga 2.000 kali lebih kuat daripada CO₂. Untungnya, sebuah terobosan baru yang dipublikasikan di jurnal Science pada Desember 2022 menawarkan harapan, yaitu siklus pendinginan ionocaloric, metode pendinginan berbasis perubahan lingkungan ionik yang tidak hanya efisien, tetapi juga nol emisi gas rumah kaca, tidak beracun, dan tidak mudah terbakar.
Dalam penelitian berjudul “Ionocaloric refrigeration cycle”, Drew Lilley dan Ravi Prasher dari Lawrence Berkeley National Laboratory memperkenalkan konsep baru dalam ilmu pendinginan, yaitu efek ionocaloric. Berbeda dengan metode pendinginan konvensional yang mengandalkan kompresi uap atau efek magnetik/listrik, efek ini memanfaatkan perubahan entropi akibat perubahan konsentrasi ion* dalam suatu larutan.
Sistem ini menggunakan campuran ethylene carbonate (EC) dan natrium iodida (NaI), bahan yang umum digunakan dalam baterai lithium-ion, yang mengalami transisi fasa padat-cair saat konsentrasi ionnya diubah melalui medan elektrokimia (tegangan listrik rendah, sekitar 1 volt). Proses ini menciptakan perubahan suhu adiabatik hingga 28°C, jauh lebih besar dibandingkan efek kalorik lain seperti magnetocaloric atau electrocaloric. Cek ilustrasi berikut ini dari Lilley, D., & Prasher, R. (2022) di jurnal ilmiah science.

Beberapa keunggulan utama dari sistem ionocaloric antara lain:
Yang paling menarik, sistem ini tidak menggunakan gas rumah kaca, tidak beracun, tidak mudah terbakar, dan bahkan berpotensi negatif karbon karena bahan dasarnya dapat diproduksi dari CO₂. Ethylene carbonate sendiri sudah diproduksi secara komersial dan stabil dalam jangka panjang.
Meski menjanjikan, sistem ini masih dalam tahap awal pengembangan. Salah satu hambatan utama adalah resistansi membran pertukaran ion dalam pelarut organik seperti EC, yang jauh lebih tinggi dibandingkan dalam air. Jika membran khusus untuk elektrolit organik dapat dikembangkan, daya pendinginan dan efisiensi sistem bisa meningkat hingga 100 kali lipat.
Dengan permintaan pendinginan global yang diprediksi meningkat pesat—terutama di negara berkembang, maka teknologi seperti ionocaloric bisa menjadi kunci untuk mengurangi jejak karbon sektor pendinginan, sekaligus mempercepat adopsi energi terbarukan melalui integrasi dengan sistem penyimpanan termal.
Sebuah perusahaan bernama Rebound Technologies, yang mengembangkan pendekatan serupa berbasis Freeze Point Suppression (FPS), bahkan telah mengoperasikan sistem pendinginan komersial berbasis prinsip ini sejak 2014. Perusahaan ini menekankan bahwa arsitektur semacam ini juga memungkinkan penyimpanan energi termal murah menggunakan tangki plastik biasa, sebuah keunggulan besar untuk jaringan listrik berbasis energi surya dan angin.
Ionocaloric refrigeration bukan sekadar eksperimen laboratorium, melainkan merupakan langkah nyata menuju masa depan pendinginan yang berkelanjutan. Dengan kombinasi efisiensi tinggi, keamanan, dan kompatibilitas lingkungan, teknologi ini layak menjadi fokus riset dan investasi global.
Referensi: